• Posted: 2024-11-06 09:45:44
  • By: Admin

Menguji Nyali Kejagung Berantas Korupsi

Oleh M. Hajoran Pulungan, S.H., M.H. 

Penulis adalah Dosen Tetap,  Ka. Prodi Ilmu Hukum Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Litigasi 

Selain keberanian, Kejaksaan Agung juga dituntut untuk fair atau berlaku adil dalam pemberantasan kasus korupsi sehingga tidak ada namanya kesan “tebang pilih” atau bahkan yang lebih ironis adalah pesanan dari pihak yang memiliki kuasa karena dianggap menjadi ancama bagi penguasa.

Dua tahun terakhir Kejaksaan Agung menunjukan komitmen dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di tanah air, mengalahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang saat ini seakan mati suri tak punya taji bahkan nyali untuk menangkap para koruptor kelas kakap yang meraja lela. Terakhir Kejagung menetapkan mantan Menteri Perdagangan era Presiden Joko Widodo, Thomas Lembong sebagai tersangka terkait kasus impor gula yang diduga merugikan keuangan negara Rp400 miliar.

Sebelumnya, Kejagung telah menetapkan mantan Kabadiklat Kumdil Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar sebagai tersangka kasus dugaan suap hakim terkait vonis bebas Ronald Tannur. Di mana saat dilakukan penggeledahan di rumah Zarof Ricar ditemukan uang yang sangat fantastis sebesar Rp920 miliar dan 51 kilogram emas.

Tentu langkah Kejaksaan Agung ini harus didukung semua pihak terutama pemerintah untuk membersihkan aparat pemerintah dari tangan-tangan kotor yang telah menggrogoti perekomian dan keuangan negara yang sudah masuk kategori akut. Dibutuhkan keberanian Jaksa Agung untuk menangkap bahkan menyapu bersih korupsi yang semakin hari semakin membuat rakyat gerah, mulai dari menteri, politisi hingga aparat penegak hukum sendiri.

Selain keberanian, Kejaksaan Agung juga dituntut untuk fair atau berlaku adil dalam pemberantasan kasus korupsi sehingga tidak ada namanya kesan “tebang pilih” atau bahkan yang lebih ironis adalah pesanan dari pihak yang memiliki kuasa karena dianggap menjadi ancama bagi penguasa. Asumsi ini bisa jadi nyata ketika Kejaksaan tak mampu menjerat para politisi maupun pejabat yang selama ini diduga terlibat kasus korupsi di era pemerintahan Jokowi, bahkan ada yang sudah terang-terangan terindikasi kasus korupsi tapi tak ditindak lanjuti bahkan kebal hukum. Dan disinilah nyali Kejagung dipertaruhkan, mampukah mereka menyeret para pejabat maupun politisi yang korup untuk di proses di hadapan hukum?

Di sinilah sikap profesionalitas Kejasaan Agung diuji apakah mampu mengusut dugaan kasus korupsi yang terjadi di negeri ini selama sepuluh tahun terakhir, atau justru Kejagung gagap untuk menetapkan para pejabat maupun politisi menjadi tersengka meskipun sudah memiliki minimal dua alat bukti yang sah. Rakyat menunggu keberanian Kejaksaan Agung untuk menggiring para koruptor ke meja hijau dengan mempertanggungjawabkan perbuatan mereka, paling tidak munculnya mereka di Kejasaan Agung dengan pakai rompi tahanan di depan kamera media cetak maupun eletronik bisa memberikan efek jera paling tidak bagi keluarga dan kerabat.

Harapan itu pasti ada kalau segenap rakyat Indonesia mendukung niat baik Kejaksaan Agung untuk menegakan hukum tindak pidana korupsi di negeri ini tanpa pandang bulu dilandasi dengan nilai-nilai integritas, moralitas dan etika. Dengan demikian ke depan kasus korupsi di negeri ini bisa dihentikan paling tidak diminimalisir di tengah pesimisme rakyat terhadap kinerja KPK yang dianggap tak efektif setelah adanya revisi UU KPK.

Penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi membutuhkan sistem hukum yang baik, sehingga cita-cita tersebut bisa terwujud bahkan efektif sehingga kasus korupsi bisa diberantas dengan memberikan efek jera terhadap koruptor. Berdasarkan teori Lawrence M. Friedman tentang sistem hukum mengatakan bahwa efektif dan berhasil tidaknya sebuah penegakan hukum dalam hal ini korupsi dipengaruhi oleh tiga unsur, yakni struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance) dan budaya hukum (legal culture).

Dari teori sistem hukum Lawrence M. Friedman menyebutkan bahwa struktur hukum meliputi  aparat perumusan hukum, aparat pelaksanaan hukum, dan aparat penegakan hukum, lalu substansi hukumnya adalah seluruh peraturan atau produk hukum yang dibentuk dan dihasilkan oleh struktur hukum itu sendiri, termasuk produk hukum tertulis berupa undang-undang. Sedangkan budaya hukum merupakan bagian dari sikap, perilaku dari seluruh masyarakat serta nilai-nilai komitmen moral dan kesadaran yang mendorong bekerjanya sistem hukum.

Dari tiga unsur tersebut diharapkan tujuan untuk pemberantasan kasus korupsi di Indonesia bisa berjalan dengan baik dan efektif sehingga harapan semua warga masyarakat bisa tercapai, dengan demikian Kejaksaan akan kembali ketitahnya sebagai institusi penegak hukum yang independen dan bebas dari interpensi baik pemerintah maupun pihak lain terutama dalam kasus korupsi.

Hal ini akan berbading lurus dengan indeks persepsi korupsi di Indonesia ke depan semakin membaik seiring niat baik Kejasaan memberantas tindak pidana korupsi yang menjadi musuh bersama. Dimana dua tahun reakhir berdasarakan laporan Transparency Internasional meliris IPK Indonesia stagnan atau jalan di tempat dengan skor 34 di tahun 2022 dan 2023.

 

 

 

 

 

 

 

  

Kategori:

Opini

Komentar

Tinggalkan Komentar