- Posted: 2024-12-03 13:46:53
- By: Admin
Pajak Pertambahan Nilai tanpa Nilai Tambah
Michael H. Hadylaya | Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Litigasi
STIH Litigasi | JAKARTA. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
menjadi 12% pada 2025 mendatang bukanlah hal yang baru dan mengejutkan. Sudah
sejak jauh-jauh hari, melalui UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi
Perpajakan, tarif 12% dicanangkan untuk berlaku, paling lambat 1 Januari 2025.
Artinya, sejak 2022 hingga saat ini, pemerintah sudah berhasil menaikkan PPN
sebesar 20% setelah bertahun-tahun lamanya kita terbiasa dengan PPN 10%.
Kenaikan tarif PPN pada barang
mewah mungkin tidak terlalu memengaruhi permintaan karena konsumen di segmen
ini kurang sensitif terhadap harga. Namun, bagi barang kebutuhan pokok, hal ini
secara signifikan memengaruhi kesejahteraan kelompok masyarakat rentan. Maka,
PPN tidak bisa dilihat secara agregat, namun perlu dilihat sektor demi sektor.
Dampak PPN terhadap pendapatan
nasional sangat bervariasi dan berbeda antara satu sektor dengan sektor lain (Yani et al.,
2024).
Pengenaan tarif PPN 12% pada sektor usaha atau komoditas tertentu bahkan dapat
memberikan dampak negatif terhadap nilai PDB secara keseluruhan (Tarmizi, 2023). Oleh karena itu, kebijakan
PPN perlu dirancang secara hati-hati dengan mempertimbangkan dampak sektoral
dan distribusional.
Sebagai instrumen fiskal, PPN
memang memiliki peran penting dalam menggenjot penerimaan negara. Apalagi di
tengah banyaknya janji-janji politik yang harus ditunaikan, peran pajak semakin
menjadi lebih krusial. Namun pertanyaannya, apakah aturan dalam UU Harmonisasi
Pajak itu adalah sebuah aturan fatalistis?
Mudarat dan Manfaat
Pemerintah tidak bisa berdalih
bahwa PPN 12% sebagai sebuah keharusan hanya karena menyitir Pasal 7 ayat 1 UU
No. 8/1983 jo. UU No. 7/2021. Pasal soal tarif 12% itu bukanlah pasal paku
mati. Pada Pasal 7 ayat 3 UU No. 8/1983 jo. UU No. 7/2021 dalam beleid yang
sama mengatur bahwa tarif PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah
menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas
persen). Artinya, jika memang kondisi mengharuskan, pemerintah bahkan bisa
menunjukkan keberpihakan dengan menurunkan PPN sampai hanya menjadi 5%.
Kalaulah pemerintah begitu murni
dan konsekuennya ingin menaati UU Harmonisasi Perpajakan, selalu ada jalan.
Begitu dikeluarkan aturan untuk memberlakukan PPN 12%, beberapa menit kemudian
bisa dikeluarkan aturan baru untuk menurunkan PPN tersebut. Toh, konstitusi
saja bisa diubah dan membuat aturan secepat kilat bukanlah “hil yang mustahal”
di Republik ini. Kuncinya adalah soal keberpihakan.
Kita perlu berhenti untuk
menggunakan alasan-alasan legalistik untuk hal-hal yang tidak sepenuhnya
relevan untuk kepentingan publik yang lebih besar. Menggunakan argumentasi yuridis sebagai
justifikasi tanpa mempertimbangkan fleksibilitas juga secara inheren diberikan
oleh hukum sama saja dengan mengabaikan prinsip kehati-hatian dalam kebijakan
fiskal. Kebijakan perpajakan, terutama PPN, tidak seharusnya sekadar menekankan
kepatuhan terhadap undang-undang, tetapi juga harus mencerminkan keberpihakan
terhadap rakyat, terutama mereka yang paling rentan terhadap dampak ekonomi.
Dengan bayang-bayang potensi inflasi
yang tinggi, daya beli masyarakat yang menurun, atau ketimpangan ekonomi yang
melebar, justru pemerintah lebih punya justifikasi untuk menurunkan PPN
alih-alih menaikkannya. Hal ini jauh lebih sejalan dengan prinsip keadilan
dalam pajak yang menitikberatkan proporsionalitas antara kemampuan membayar dan
dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan pajak bukan hanya soal
angka, tetapi juga soal keberpihakan. Keberpihakan pada konsumen bahwa uang
yang dimilikinya bukan cuma sekedar cukup untuk menyambung hidup hari demi
hari, namun juga untuk mengaktualisasikan diri. Keberpihakan pada pengusaha
bahwa beban pajak tidak membuat mereka kehilangan daya saing atau mengurangi
kemampuan untuk berinvestasi dan menciptakan lapangan kerja baru. Keberpihakan
seperti ini mencerminkan fungsi utama pajak sebagai alat redistribusi yang
mendukung keadilan sosial, bukan semata-mata sebagai sumber pendapatan negara.
Penggunaan argumen legalistik
tanpa mempertimbangkan aspek sosial dan ekonomi dapat merusak kepercayaan
masyarakat terhadap pemerintah. Prinsip negara hukum tidak hanya berarti
mematuhi aturan yang ada, tetapi juga memastikan bahwa aturan tersebut diterapkan
untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan bersama.
Isu PPN ini adalah ujian pertama
bagi pemerintahan baru tentang bagaimana menghadirkan negara yang benar-benar
berpihak kepada rakyat, bukan hanya kepada angka-angka dalam neraca fiskal. Kebijakan
ini adalah kesempatan bagi pemerintah untuk menunjukkan bahwa negara hadir
tidak hanya sebagai pemungut pajak, tetapi sebagai pelindung dan penggerak
utama bagi kesejahteraan seluruh rakyat. Pemerintah harus menjadi mercusuar
yang baik.
Mercusuar tidak hanya berdiri
megah untuk memungut pajak dari kapal yang lewat, tetapi juga harus menjadi
panduan yang memastikan kapal-kapal tersebut tetap di jalur aman, menghindari
karang berbahaya, dan tiba dengan selamat di pelabuhan. Jika mercusuar hanya
berfokus pada memungut biaya dari kapal tanpa peduli pada keselamatan navigasi,
maka kapal-kapal bisa karam, merugikan semua pihak.
Demikian pula, pemerintah melalui
kebijakan perpajakan seperti PPN, tidak hanya bertugas mengumpulkan penerimaan
negara tetapi juga memastikan kebijakan tersebut memandu masyarakat menuju
kesejahteraan yang lebih baik. Ini berarti mendukung daya beli masyarakat,
mendorong pertumbuhan sektor usaha, dan menjaga stabilitas ekonomi secara
keseluruhan. Jika tidak, maka yang kita dapati hanyalah pajak pertambahan nilai
tanpa adanya nilai tambah bagi kesejateraan bersama.
Komentar